Wednesday, November 28, 2007

UN bukan satu-satunya tolak ukur

SEBELUM mengenal Ujian Nasional (UN), dunia pendidikan di Indonesia menganut istilah Ebtanas (Evaluasi Belajar Tahap Akhir Nasional).

Hasil Ebtanas dikenal juga dengan istilah NEM (Nilai Ebtanas Murni) yang diperkenalkan pertama kalinya oleh Prof Dr Nugroho Notosusanto,Menteri Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1985. Pada tahun pelajaran 2002/ 2003, UN atau yang pada awalnya bernama Ujian Akhir Nasional (UAN) dibentuk sebagai pengganti kebijakan Ebtanas.

Setelah itu, berbagai perubahan pun menghiasi dunia pendidikan kita. Dulu, nilai NEM berlaku sebagai salah satu dari sekian indikator kelulusan.NEM juga dipakai untuk menyeleksi siswa masuk ke sekolah yang diinginkan. Nah,untuk saat ini nilai UN menjadi satu-satunya kunci kelulusan.

Hal ini sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah (Permen) No 45/2006 tentang UN tahun pelajaran 2006/2007.Kondisi inilah yang kemudian menjadi pil pahit yang harus ditelan pelajar Indonesia. Betapa tidak, siswa dituntut untuk memenuhi standar kelulusan yang ditetapkan tanpa memperhatikan aspek-aspek pendukung lain.

Kondisi ini diperparah dengan adanya kebijakan penambahan nilai standar kelulusan UN tahun 2008.Pada tahun 2005 terpatok angka 4,01 sebagai syarat kelulusan siswa. Kemudian bertambah menjadi 4,5 pada 2006.Kemudian batasan bertambah lagi menjadi 5,0 pada 2007 dan akan kembali menanjak menjadi 5,25 pada 2008.

Jika mendapat nilai di bawah standar tersebut, siswa akan dinyatakan tidak lulus meski dengan selisih yang amat tipis. Penggunaan UN sebagai satu-satunya penentu kelulusan siswa pada akhirnya memang menuai pro dan kontra. Dalam hasil jajak pendapat, mayoritas responden mendukung sistem ini dengan memberikan penilaian bahwa UN mampu mengukur kualitas pendidikan.

Dengan adanya standar yang sama lewat UN diharapkan para siswa akan berusaha lebih baik lagi untuk mencapai standar tersebut. Sebaliknya, 38% responden menilai UN tidak mampu mengukur kualitas pendidikan karena UN hanya berkutat pada penilaian kognitif (pengetahuan).

Padahal, menurut penjelasan Pasal 35 ayat 1 UU Sisdiknas,kelulusan siswa harus dilihat dari dua aspek lain, yakni aspek sikap (afektif) serta keterampilan (psikomotorik). Kondisi inilah yang membuat UN dipandang sebagai bentuk ketidakadilan bagi siswa karena bisa saja siswa tersebut memiliki kemampuan lebih pada mata pelajaran lain atau keterampilan di luar itu, tapi ternyata kelebihan itu sama sekali tidak diperhatikan sebagai pendukung kelulusan